Let's join to be our partner Join Now!

Teori Asam Basa Menurut Para Ahli

Please wait 0 seconds...
Scroll Down and click on Go to Link for destination
Congrats! Link is Generated

Teori Asam Basa

Halo Sahabat Story Edelweiss, apakah kamu menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari, senyawa asam dan basa seringkali muncul di berbagai tempat dan situasi? Senyawa ini bukan hanya terdapat dalam makanan yang kita konsumsi, tetapi juga dalam produk-produk sehari-hari seperti detergen dan sabun yang kita gunakan untuk mencuci pakaian. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi dunia yang menarik dari senyawa asam dan basa, serta menggali teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli untuk menjelaskan fenomena ini.

Asam dan Basa : Ciri Khas dan Penggunaannya dalam Kehidupan Sehari-hari

Asam dan basa adalah dua jenis senyawa yang memiliki ciri khas tersendiri. Asam seringkali memiliki rasa yang masam, seperti yang kita temukan pada vitamin C atau cuka. Sebaliknya, basa memiliki rasa yang pahit dan tekstur licin ketika kita menyentuhnya. Contohnya adalah pasta gigi, kapur sirih, dan bahkan detergen yang kita gunakan untuk mencuci pakaian. 

Larutan asam dan basa juga dikenal sebagai elektrolit. Mereka dapat mengion ketika dilarutkan dalam air, dan inilah yang membuat mereka memiliki sifat khusus. Asam akan melepaskan ion hidrogen (H+) dalam larutan, sedangkan basa akan menghasilkan ion hidroksida (OH-). Itulah mengapa senyawa-senyawa ini memiliki rasa dan sifat fisik yang berbeda.

Teori-teori Asam Basa Menurut Para Ahli

Para ahli kimia selama berabad-abad telah berusaha untuk menjelaskan sifat asam dan basa. Berbagai teori telah muncul, dan masing-masing memberikan pandangan yang berbeda. Berikut adalah beberapa teori asam basa yang dikemukakan oleh para ahli:

1. Teori Asam Basa Arrhenius

Teori asam basa pertama yang akan kita bahas adalah Teori Arrhenius. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Svante Arrhenius, seorang ahli kimia asal Swedia pada tahun 1884. Teori Arrhenius menghubungkan sifat keasaman dengan ion hidrogen (H+).

Menurut teori Arrhenius, asam adalah senyawa yang, ketika dilarutkan dalam air, akan menghasilkan ion H+ dalam larutan. Misalnya, ketika asam klorida (HCl) atau asam asetat (CH3COOH) dilarutkan dalam air, mereka melepaskan ion H+ ke dalam larutan.

HCl(aq) → H+(aq) + Cl(aq)
CH3COOH(aq) → CH3COO–(aq) + H+(aq)

Dalam hal basa, Arrhenius menyatakan bahwa basa adalah senyawa yang, ketika dilarutkan dalam air, akan menghasilkan ion OH-. Misalnya, natrium hidroksida (NaOH) atau ammonium hidroksida (NH4OH) akan melepaskan ion OH- ketika dilarutkan. Sebagian besar senyawa basa yang sesuai dengan deskripsi ini dianggap sebagai basa kuat. Namun, teori Arrhenius memiliki keterbatasan. Teori ini hanya berlaku ketika air digunakan sebagai pelarut. 

Kesimpulan Teosi Arrhenius

Dalam teori Arrhenius, asam kuat adalah senyawa asam yang terionisasi sepenuhnya, menghasilkan ion H+ dalam larutan, sementara asam lemah adalah senyawa asam yang tidak mengalami ionisasi sepenuhnya. Hal yang serupa berlaku untuk basa, di mana basa kuat adalah senyawa basa yang mengalami ionisasi penuh, sementara basa lemah tidak mengalami ionisasi sepenuhnya.

Menurut Teori Arrhenius, senyawa asam dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah ion hidrogen yang dihasilkan per molekulnya. Jika sebuah senyawa asam menghasilkan satu ion hidrogen per molekul, maka senyawa tersebut disebut sebagai asam monoprotik. Di sisi lain, jika senyawa asam menghasilkan dua ion hidrogen per molekul, maka disebut sebagai asam diprotik. Ada juga senyawa asam yang mampu menghasilkan tiga ion hidrogen per molekul, dan mereka dikenal sebagai asam triprotik. Secara umum, menurut teori Arrhenius, senyawa asam yang mampu melepaskan lebih dari satu ion hidrogen per molekulnya disebut sebagai asam poliprotik. Konsep yang serupa berlaku untuk senyawa basa, di mana senyawa yang menghasilkan satu ion hidroksida per molekulnya disebut sebagai basa monoprotik, dan seterusnya.

2. Teori Asam Basa Bronsted dan Lowry

Teori asam basa kedua yang akan kita bahas adalah Teori Bronsted dan Lowry. Teori ini muncul sebagai upaya untuk mengatasi keterbatasan yang ada dalam Teori Arrhenius. Salah satu keterbatasan utama Teori Arrhenius adalah bahwa itu hanya berlaku ketika senyawa dilarutkan dalam air, mengabaikan reaksi asam-basa dalam fase gas dan fase padat.

Pada tahun 1923, J.N. Bronsted, seorang ahli kimia asal Denmark, bersama T.M. Lowry, ahli kimia asal Inggris, memperkenalkan teori ini. Mereka memberikan definisi baru untuk asam dan basa. Dalam pandangan mereka, asam adalah senyawa yang mampu menyumbangkan proton H+ (ion hidrogen) ke senyawa lain, dan oleh karena itu disebut donor proton. Sedangkan basa adalah senyawa yang mampu menerima proton H+ dari senyawa lain, dan disebut akseptor proton.

Sebagai contoh, ketika asam klorida (HCl) dilarutkan dalam air, HCl melepaskan proton H+, yang kemudian ditangkap oleh molekul air. Dalam hal ini, HCl bertindak sebagai asam, sedangkan air bertindak sebagai basa karena menerima proton tersebut.

Menariknya, reaksi yang terjadi berbeda jika HCl dilarutkan dalam pelarut benzena (C6H6). Dalam hal ini, HCl tidak akan berinteraksi dan akan tetap terlarut dalam bentuk yang sama. Ini menunjukkan bahwa reaksi asam-basa sangat tergantung pada lingkungan pelarutnya.

Dalam Teori Bronsted dan Lowry, ada istilah yang disebut asam dan basa konjugasi. Asam konjugasi adalah senyawa yang awalnya berperan sebagai asam dan setelah memberikan proton, berubah menjadi basa. Sebaliknya, basa konjugasi adalah senyawa yang awalnya berperan sebagai basa dan setelah menerima proton, berubah menjadi asam.

Penting untuk diingat bahwa semua asam Arrhenius juga termasuk dalam kategori asam Bronsted dan Lowry, dan semua basa Bronsted dan Lowry mengandung ion hidroksida (OH-) yang sesuai dengan basa Arrhenius. Namun, tidak semua basa Bronsted dan Lowry merupakan basa Arrhenius.

Selain reaksi asam-basa dalam air, Teori Bronsted dan Lowry juga membantu menjelaskan reaksi asam-basa dalam fase gas, dan fase padat, seperti yang terjadi dalam reaksi antara HCl dan NH3.

HCl(g) + NH3(g) → Cl-(s) + NH4+(s)

Dalam contoh di atas, dapat dengan jelas dilihat bahwa Teori Bronsted dan Lowry mengidentifikasi dua pasangan asam dan basa. Pasangan pertama terdiri dari asam (HCl) dan basa konjugasi (Cl-), di mana basa konjugasi adalah sisa yang tersisa setelah proton dipindahkan dari asam (Cl-). Sementara itu, pasangan kedua terdiri dari basa dan asam konjugasi, yang terjadi ketika proton tambahan diterima oleh senyawa basa.

Menurut Teori asam basa Bronsted Lowry, pasangan asam dan basa konjugasi memiliki rumus kimia yang hanya berbeda dalam satu proton H+. Sebagai contoh, dalam reaksi antara HCl dan NH3, HCl bertindak sebagai asam karena melepaskan proton, sementara NH3 bertindak sebagai basa karena menerima proton. Dalam konteks ini, ion Cl- menjadi basa konjugasi dari HCl, sementara NH4+ menjadi asam konjugat dari NH3.

Kesimpulan Teori Bronsted Lowry

Kesimpulan yang dapat diambil dari Teori asam basa Bronsted Lowry adalah bahwa asam adalah senyawa yang dapat memberikan proton kepada senyawa lain, yang juga dapat disebut sebagai donor proton. Sebaliknya, basa dalam Teori Bronsted Lowry adalah senyawa yang menerima proton dari senyawa lain, yang juga dikenal sebagai akseptor proton.

Perlu diingat bahwa air (H2O) adalah zat amfoter yang bisa bertindak sebagai asam atau basa, tergantung pada konteks reaksi kimia yang terlibat. Teori Bronsted dan Lowry merupakan sebuah perbaikan dari Teori Arrhenius, mengatasi keterbatasan yang ada pada Teori Arrhenius yang hanya berlaku dalam larutan air.

3. Teori Asam Basa Lewis

Teori Asam Basa Lewis, yang pertama kali dikemukakan pada tahun 1923 oleh Gilbert Newton Lewis, seorang ahli kimia dari UC Berkeley, memberikan pandangan alternatif untuk menggambarkan sifat-sifat senyawa asam dan basa. Teori ini bertujuan untuk menyederhanakan konsep asam dan basa dengan fokus pada struktur dan ikatan molekuler.

Menurut pandangan Lewis, asam adalah zat yang cenderung menerima pasangan elektron dari basa. Sebagai contoh, beberapa senyawa yang dianggap sebagai asam Lewis adalah SO3, BF3, dan AlF3. Di sisi lain, basa adalah zat yang mampu memberikan pasangan elektron kepada zat lain. Dalam teori Lewis, basa memiliki pasangan elektron bebas, seperti yang ditemui dalam senyawa seperti NH3, Cl–, dan ROH.

Lebih lanjut, Lewis menjelaskan bahwa reaksi asam dan basa melibatkan pertukaran pasangan elektron. Dalam proses ini, terbentuk ikatan kovalen koordinasi sebagai hasil dari pertukaran pasangan elektron antara asam dan basa.

Sebagai contoh, mari kita lihat reaksi antara BF3 dan N(CH3)3:

Reaksi BF3 + NH3


Berdasarkan Teori Asam Basa Lewis, BF3 dianggap sebagai asam karena memiliki kemampuan untuk menerima sepasang elektron. Sebaliknya, NH3 dianggap sebagai basa karena mampu menyumbangkan sepasang elektron.

Menurut pandangan Lewis tentang asam dan basa, asam adalah molekul atau ion yang dapat menerima pasangan elektron, sementara basa adalah molekul atau ion yang mampu memberikan pasangan elektronnya.

Teori Lewis memiliki beberapa keunggulan yang penting:

1. Penjelasan Sifat Asam dan Basa dalam Pelarut Berbeda

Teori ini dapat menjelaskan sifat asam dan basa baik dalam pelarut selain air maupun ketika asam basa berada dalam bentuk padat. Ini sejalan dengan konsep asam dan basa yang dibahas dalam Teori Bronsted dan Lowry.

2. Sifat Molekul dan Ion dengan Pasangan Elektron Bebas

Teori Lewis memungkinkan untuk menjelaskan sifat asam dan basa dari molekul dan ion yang memiliki pasangan elektron bebas atau mampu menerima pasangan elektron bebas. Ini berguna dalam menjelaskan pembentukan senyawa kompleks.

3. Mengatasi Zat Organik

Teori Lewis mampu menjelaskan sifat basa dalam zat organik seperti DNA dan RNA yang mengandung atom nitrogen dan memiliki pasangan elektron bebas.

Kesimpulan Teori Asam Basa Lewis

Menurut pandangan Gilbert Newton Lewis, asam adalah molekul atau ion yang memiliki kemampuan untuk menerima pasangan elektron. Sebaliknya, basa adalah molekul atau ion yang mampu memberikan pasangan elektronnya. Lewis juga mampu menjelaskan teori asam dan basa untuk berbagai kondisi, termasuk sifat asam dan basa dalam pelarut air maupun pelarut selain air. Dalam teori Lewis, asam dapat berperan sebagai penerima pasangan elektron, bukan hanya sebagai penghasil ion H+, seperti yang dijelaskan dalam teori Bronsted dan Lowry. Contoh yang diilustrasikan adalah senyawa BF3 yang berperan sebagai asam karena memiliki orbital kosong pada kulit valensinya.

Post a Comment

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.